Minggu, 11 Juni 2017

PERANAN SEKOLAH DASAR SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan limpahan karunia-nya lah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “ Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural ”.
            Karya tulis sederhana ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas pendidikan multikultural. Dalam penyelesaian karya tulis ini, penulis memperoleh bantuan dari berbagai  pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah  pendidikan multkultural serta teman-teman kelompok sepuluh.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan karya tulis ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik serta saran yang membangun dari para pembaca akan  penulis terima dengan senang hati sehingga bisa menjadi sebuah pelajaran bagi penulis agar kelak penulis dapat membuat dengan lebih baik lagi. Semoga makalah “ Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural ” dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan  pembaca pada khususnya.











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii  
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C.     Tujuan Penulisan ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial……………………....2
B.     Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Budaya…4
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan ………………………………………………………....15

B.       Saran………………………………………………………………...15


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar belakang
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai lingkungan budaya. Pendidikan dan pembudayaan yang diperoleh di sekolah di samping di rumah, di masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan individu selanjutnya. Pendidikan ini tidak bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai, termasuk nilai budaya.

 Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya merupakan bagian dari aneka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya yaitu budaya sekolah. Untuk mengenalkan anak didik kita dengan budaya tersebut maka sekolah Dasar perlu di modelkan sebagai lembaga budaya di mana siswa bisa dapat beradaptasi secara alamiah dan berbudaya.
Pada makalah ini akan  mempelajari  Peranan  Sekolah  Dasar  Sebagai Sistem Sosial dan Lembaga Pengembangan Budaya dalam Pendidikan Multikultural.

B.  Rumusan masalah
1.    Bagaimana peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial?
2.    Bagaimana peranan sekolah dasar sebagai  lembaga pengembangan budaya?

C.  Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial.
2.    Untuk mengetahui peranan sekolah dasar sebagai  lembaga pengembangan budaya.












BAB II
PEMBAHASAN


A.        Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial
Sistem sosial adalah proses bertingkah laku (dalam masyarakat) yang saling memengaruhi dan terdapat kegiatan berulang tetap secara teratur. Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan sistem sosial adalah consensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra system echange) tidak selalu bersifat adjustive. Sebuah sistem social dalam kurun waktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.
Sekolah sebagai sistem sosial pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem social tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal. Sosialisasi dan enkulturasi melalui pendidikan dengan belajar adat (kebiasaan sosial).
Lingkungan sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal, dan bidang studi. Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain :
1. Kebijakan dan politik sekolah      
Kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan berkelanjutan.  
2.   Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)      
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan sekolah. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang. 


3. Gaya belajar dan sekolah      
Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya sekolah itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan. 
4. Bahasa dan dialek sekolah      
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. SD di Jawa, khususnya Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat membuat program mingguan misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan kesantunan pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan di sekolah. 
5. Partisipasi dan input masyarakat      
Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat, baik dana maupun pemantauan ke arah pengembangan sekolah ke depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang yang memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan putra-putrinya.  
6. Program penyuluhan/ konseling      
Program bimbingan dan penyuluhan/ konseling akan berperanan dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.  
7. Prosedur asesmen dan pengujian      
Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak. Anak akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi skornya bila dia terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral atau sebaliknya, siswa yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor tambahan.  
8. Materi pembelajaran      
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9. Gaya dan strategi mengajar      
Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.  
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staff sekolah      
Seluruh staff yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya. Staff sekolah bukan sekedar berurusan dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan tidak peduli dari staff sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja sekolah. Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi itu.

B.  Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Budaya
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan  pelaksanaan pendidikan, termasuk  di  dalamnya  Pendidikan  Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya. Sekalipun sebenarnya multikultural menjadi penentu dalam implementasi tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan pembelajaran. Padahal multikultural itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan sekolah dalam memberikan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam proses belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat,  teori, visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.


1.   Multikuitural Sebagai Landasan Pembelajaran
Kebudayaan  adalah  salah  satu  landasan  pengembangan  dalam  kurikulum (Taba, 1962) karena menurut Ki Hajar Dewantara akar pendidikan suatu bangsa adalah kebudayaan. Wloodkowski dan Ginsberg (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan model belajar  yang komprehensif dalam  arti  pengajaran  yang responsif terhadap kultural. Model ini merupakan pedagogi lintas disiplin dan lintas budaya.
Pendidikan Multikultural digunakan oleh pendidik untuk menggambarkan kegiatan dengan siswa  yang  berbeda  karena  ras,  gender,  kelas,  atau ketidakmampuan. Tujuan kemasyarakatan pendekatan ini adalah untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok yang tertindas (oppressed groups), bekerja atas dasar kesempatan yang sama dan adanya keadilan sosial pada semua kelompok, serta distribusi kekuasaan yang adil di antara anggota kelompok budaya yang berbeda. Pendekatan Pendidikan Multikultural mencoba mereformasi proses persekolahan secara keseluruhan tanpa memandang apakah sekolah itu sekolah pinggiran yang terbelakang atau sekolah kota yang maju.
Berbagai praktek dan proses di sekolah direkonstruksi kembali sehingga menjadi model sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme. Berbagai praktek dan proses di sekolah direkonstruksi kembali sehingga menjadi model sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme. Misalnya, pembelajaran diorganisir seputar konsep disiplin namun materi rincian dari konsep itu disajikan dari pengalaman dan perspektif dari berbagai kelompok berbeda. Pembelajaran tidak memakai lagi pengelompokan berdasarkan kekuatan siswa dan tidak ada lagi praktek yang membeda-bedakan siswa. Siswa didorong untuk menganalisa isu lewat sudut pandang yang berbeda.
Andersen  dan  Cusher  (1994:320)  mengatakan  bahwa  multikultural  adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Posisi  kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari, jadi berstatus  sebagai  obyek  studi.  Dengan  perkataan  lain, keragaman kebudayaan menjadi materi  pelajaran  yang  harus  diperhatikan  para pengembang pembelajaran. Ini disebut belajar tentang budaya.
pendekatan multikultural harus membantu para pengembang dalam mengembangkan prinsip- prinsip perencanaan dan pelaksanaan, dan dapat memaksimalkan potensi siswa dan lingkungan budayanya sehingga siswa dapat belajar dengan lebih baik. Artinya, pengertian pendekatan multikultural harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta didik, memanfaatkan kebudayaan itu bukan saja sebagai sumber konten, melainkan juga sebagai  titik  berangkat  untuk  pengembangan  kebudayaan  itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa yang berdasarkan bhinneka  tunggal  ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan "kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi" (Boyd,  1989:  49-50). Artinya, pengertian  pendekatan  multikultural dalam pembelajaran haruslah menggabungkan pengertian Pendidikan Multikultural sebagai landasan pengembangan, di samping sebagai ruang lingkup materi yang harus dipelajari. Hal ini disebut belajar dengan budaya.
2.   Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran pendidikan multikultural haruslah meliputi tiga dimensi  yaitu sebagai ide, sebagai langkah kerja oprasional (gerakan) dan sebagai proses. Ketiga dimensi pendidikan multikutural ini berkaitan satu dengan lainnya.
Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan filosofi. Model pembelajaran yang digunakan pendekatan dan teori belajar yang digunakan. Pendekatan model evaluasi hasil belajar dan pendidikan multicultural. Pengembangan langkah kerja operasional didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya. Secara teknis pengembangan perencanaan dan pelaksanaan  sebagai langkah kerja operasional berkenaan dengan keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan. Bentuk format silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran­ harus dikembangkan. Pengembangan pembelajaran sebagai ide dan langkah kerja operasional  diperlukan sosialisasi agar terjadi kesinambungan pemikiran-pemikiran para pengambil keputusan pelaksanaan dengan para pengembang teknis di lapangan.
Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajaran dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis sedangkan kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan kepada daerah. Pada konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada pusat tetapi harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk memasukan karakteristik budayanya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru ) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses belajar dikelas dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multicultural. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan oleh orang orang terlibat dalam proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai dokumen kalau orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak memungkinkan secara teknis. Diperlukan adanya tim sosialisasi kerja yang sepenuhnya faham dengan karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multikultural. Pada tahap ini, target utama adalah para guru paham dan berkeinginan untuk mengembangkan RPP multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggung jawabnya.
3.   Pengembangan Pendekatan  Multikultural Sebagai Ide
Pengembangan pembelajaran sebagai ide adalah langkah awal yang sangat menentukan karakteristik pembelajaran di masa mendatang : apakah yang akan di hasilkan adalah  perencanaan dan pelaksanaan multikultural, perencanaan dan pelaksanaan monokultural, ataukah perencanaan dan pelaksanaan yang diberlakukan secara umum tanpa  memperhatikan perbedaan kultural yang ada. Oleh karena pembahasan dan keputusan tentang dimensi ide suatu perencanaan dan pelaksanaan sangat penting.
Suatu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran multicultural adalah keadaan keseragaman dalam perencanaan dan pelaksanaan. Pada saat lampau keseragaman tersebut terlihat pada keseragaman pendekatan perencanaan dan pelaksanaan untuk setiap jenjang pendidikan yaitu perencanaan dan pelaksanaan pendidikan disiplin ilmu.
Untuk perencanaan dan pelaksanaan multicultural pendekatan pendidikan disiplin ilmu bagi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dasar harus ditinggalkan sama sekali. (Hasan,2006). Alas an pertama adalah tidak semua orang akan menjadi ilmuan, alasan kedua adalah terlalu dini untuk memasukan siswa pendidikan dasar dalam kotak-kotak kepentingan disiplin ilmu. Pendidikan dasar adalah pendidikan minimal untuk memberikan kualitas minimal bangsa Indonesia. Pendidikan disiplin ilmu tidak memiliki kapasitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemanusiaan seorang siswa padahal pendidikan dasar harus bertujuan pada pengembangan kualitas manusia yang berbudaya.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah wahana mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu, pendekatan bukan pada banyaknya materi yang harus dipelajari tetapi bagaimana mempelajarinya.
Secara teknis filsafat pendidikan dasar harus berubah dari esensialisme kea rah yang lebih humanism atau bahkan rekontruksi social. Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, tuntutan masyarakat dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Budaya masyarakat menjadi sumber, obyek sekaligus dasar untuk mengembangkan proses belajar dan sebagai sumber belajar. Dengan perubahan filosofi ini maka sifat pembelajaran lebih terbuka terhadap berbagai perkembangan yang terjadi dimasyarakat termasuk perubahan dan pengembangan kebudayaan. Untuk itu diperlukan adanya revisi terhadap tujuan materi proses belajar dan evaluasi yang dikembangkan.
Pendekatan multicultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan  budaya local tetapi juga merupakan media pengembang budaya nasional maupun budaya universal. Kebudayaan local menjadi dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Prinsip ini mutlak harus dikembangkan karena keragaman budaya adalah sumber yang tak ternilai bagi perkembangan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional itu menjadi landasan dalam memahami budaya universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Faktor-faktor Pengembangan Pendekatan  Multikultural
a.       Pengembangan Pendekatan Multikultural sebagai Gerakan
Pendekatan pengembangan multicultural sebagai gerakan menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujuan, konten, pengalaman belajar dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan budaya. Rumusan yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan menghendaki rumusan tujuan yang terukur perlu kita tinggalkan. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa tidak semua kualitas manusia dapat di ukur berdasar criteria tertentu. Ada tujuan tujuan yang dapat di ukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang panjang.
Sesuai dengan pendekatan multicultural, sumber kualitas yang di nyatakan dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak pula terbatas pada kualitas yang ditentukan oleh disimplin ilmu semata. Kualitas manusia seperti bertata karma (santun), religious, toleransi, kreativitas, disiplin, kerja keras, kemampuan kerja sama. Berpikir kritis dan sebagainya harus dapat ditonjolkan sebagai tujuan pembelajaran. Kualitas tertentu yang di rasakan penting oleh kelompok budaya dan social tertentu harus dapat dikembangkan dan oleh karenanya pembelajaran harus memberikan kemungkinan adanya pengembangan tujuan di komunitas dan lingkungan budaya tertentu.
Demikian pula kualitas seperti kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan mencari dan mengolah informasi, kemampuan menggunakan budaya untuk pembelajaran, kemampuan komunikasi dan sebagainya harus dapat di kemukakan sebagai tujuan yang sama pentingnya dengan tujuan yang berasal dari disiplin ilmu.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Multikultural menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda dari pengertian yang dianut dalam kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum 1984 memang mencoba untuk mengembangkan pengertian konten yang lebih luas tetapi belum mencakup keseluruhan gerak pengembangan. Pengertian konten harus diartikan lebih luas yang mencakup hal-hal substansi (teori, generalisasi, konsep, fakta, nilai, keterampilan, dan proses).
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi sebagai konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural based dan terbuka pada masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat. Tetapi sekolah adalah suatu lemaga social dan lembaga budaya yang hidup dan berkembang dimasyarakat selanjutnya konten pembelajaran harus dapat mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik..
Pengembangan komponen proses dalam pembelajran menghendaki pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar. Dalam posisi sepeti ini maka siswa bejar dan berinteraksi dengan sumber belajar  (termasuk masyarakat. Guru bertindak sebagai orang yang memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran pendidkan multikulturak siswa sebagai subjek dalam belajar member arti bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar. Metode guru ditentukan oleh cara siswa belajar.
b. Pengembangan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Proses
Pengembangan Perencanaan dan Pelaksanaan pembelajaran sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya siswa. Pendidikan multicultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan Multikultural dengan sebagai ide.
Pengetahuan, Pemahaman, dan sikap serta kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu :
a. Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar.
b.Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya.
c. Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior cultural siswa.
d.         Lingkungan budaya siswa sebagai sumber belajar.
Posisi keragaman yang berada pada tataran sekolah dan masyarakat tak boleh diabaikan. Oleh karena itu, keragaman social dan budaya harus menjadi factor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai lingkungan budaya mempengaruhi perkembangan individu itu selanjutnya. Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya merupakan bagian dari boneka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya: budaya keluarga, budaya masyarakat, budaya bangsa dan Negara, dan mengenal berbagai budaya dunia.
Pada umumnya sekolah dasar di daerah perkotaan telah menjadi komunitas budaya yang plural dan muncul sebagai model masyarakat yang mutikultural. Kenyataan ini seharusnya memperkuat kebersamaan antar-kelompok budaya, saling mengenal, saling tergantung dan saling menghargai.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Di Amerika, kurikulum dominan berpusat pada Eropah dan pria. Kurikulum sangat mengabaikan pengalaman, suara, sumbangan, dan perspektif dari individu dan kelompok non-dominan pada semua bidang. Semua materi pendidikan yang mencakup buku teks, film, dan alat belajar yang lain menyajikan informasi dalam format yang Eropah-sentris dan pria sentris murni.
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah ".


Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan informasi atau sumber tentang orang terkenal dan benda budaya dari berbagai kelompok ke dalam kurikulum yang dominan. Papan pengumuman dapat berisi gambar dari tokoh-tokoh kelompok yang bukan dominan dan guru dapat merencanakan perayaan khusus untuk Hari Kartini, Hari Anak, Hari Pahlawan atau HUT Kemerdekaan. Pagelaran tentang “budaya yang lain” berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items).
Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan dan bahwa pendekatan Hari Libur dan Pahlawan benar-benar mudah diimplimentasikan dengan hanya memerlukan sedikit pengetahuan baru.

Tahap 3: Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambah dari daerah Papua atau tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum.

Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika-Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.

Tahap 5: Reformasi Struktural
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Siswa belajar memandang peristiwa, konsep, dan fakta melalui berbagai kacamata. Misalnya, untuk "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda.

Tahap 6 Hubungan Manusia (Mengapa-kita-tidak-semuanya-ikut-serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru memperlihatkan antusiasme untuk mempelajari tentang budaya “yang lain” melalui pendekatan Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Intercultural Teaching and Learning approach). Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang berbeda-beda itu dilihat sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.

Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Kita melakukan Pendidikan Multikultural secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda.

Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan.


5.   Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi Pendidikan Multikultural 
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural.
1.      Strategi Pencapaian Konsep
Digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
2.      Strategi cooperative learning
Digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan, meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif dalam pembelajaran.
3.      Strategi analisis sosial
Difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (melalui cara pandang kebangsaan).
4.      Strategi analisis nilai
Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.














BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, dan kurikulum formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial yaitu kebijakan dan politik sekolah, budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi, gaya belajar dan sekolah, bahasa dan dialek sekolah, partisipasi dan input masyarakat, program penyuluhan/konseling, prosedur asesmen dan pengujian, materi pembelajaran, gaya dan strategi mengajar dan sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku stap sekolah.
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan  pelaksanaan pendidikan,  termasuk  di  dalamnya  Pendidikan  Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat,  teori, visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.
B.     Saran
Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CONTOH RPP 2006 KTSP BAHASA INDONESIA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan                : SD Kelas/Semester                        : V/ 1 Mata Pela...